TOLERANSI DAN KERUKUNAN
ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Pendahuluan
Belakangan ini, agama adalah sebuah
nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan,
dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah
kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan
kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia
tentang
keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk
memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam
konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya
tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama (mengatasnamakan agama) sehingga
realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling
tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Pengertian Toleransi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi
berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh)
yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional,
dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah
(terminologi),
toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang
berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Jadi,
toleransi beragama adalah
sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan
agama atau sistem
keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Toleransi Beragama
Menurut Islam
Ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan sedikitpun oleh umat islam dalam bertoleransi dengan penganut agama lain yaitu :
1. Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil.
2. Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta’ala.
3. Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang lain.
4. Kaum mu’minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang kafir (non-muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik (ahlul bid’ah).
5. Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin.
6. Kaum muslimin jangan
lupa bahwa orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin menyimpan
dihati mereka kebencian tradisional terhadap kaum muslimin, khususnya bila kaum
muslimin mengamalkan agamanya. Oleh karena itu kaum muslimin jangan minder
(merasa rendah diri) menampakkan prinsip agamanya diantara mereka dan jangan
sampai mempertimbangkan keterseinggungan perasaan orang-orang kafir ketika
menjalankan dan mengatakan prinsip agamanya.
7.
kaum muslimin dilarang menyatakan kasih sayang dengan orang-orang kafir dan
munafik yang terang-terangan menyatakan kebenciannya kepada islam dan muslimin.
Tujuh prinsip tersebut menjadi dasar hubungan toleransi
antar kaum muslimin dengan orang kafir. Agar dengan di fahami dan dipegang
erat-erat ketujuh prinsip tersebut, kaum muslimin akan selamat dari upaya
pendangkalan dan pengkebirian keimanan mereka kepada agamanya.
Konsep Kerukunan Umat Beragama
Adalah kerukunan golongan yang satu agama, sepertihalnya golongan
Muhammadiyah dengan golongan Nahdhatul Ulama. Kedua golongan ini merupakan golongan
mayoritas dalam agama Islam. Kerukunan ini bertujuan agar masing-masing
golongan dalam agama dapat menjalin kerukunan dan tidak mudah terpecahkan oleh
isu-isu yang dapat memecah belah
mereka. Agama yang dinamis dalam berdakwah (khususnya Islam dan Kristen)
memerlukan sarana untuk mengaturnya, namun sampai saat ini daftar rancangan peraturan bersama dua menteri
(menteri Agama dan menteri Dalam Negeri) belum disepakati. Ada tiga konsep
kerukunan umat beragama yaitu:
·
Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan yang dijalin antar pemeluk agama yang
berbeda, seperti halnya pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen.
Kerukunan ini bertujuan agar masing-masing pemeluk agama dapat hidup harmonis,
selaras, dan saling hormat-menghormati.
·
Kerukunan Antar Umat Beragama dengan
Pemerintah
Kerukunan yang dijalin antara pemerintah dengan
seluruh pemeluk agama di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas
pemerintah di sini adalah sebagai pelindung atas kebebasan warga negara dalam
menentukan pilihan agama. Seperti yang termuat dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2,
yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendudukan untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan
itu”.
Di sini dimaksudkan hubungan antara pemerintah
dengan seluruh umat beragama di seluruh NKRI. Dari kerukunan antara umat
beragama dengan pemerintah tersebut dimaksudkan agar terjadi hubungan yang
harmonis antara pemeluk agama dengan pemerintah.
Sejarah Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
·
Kerukunan Intern Umat Beragama di Indonesia
Sejarah kerukunan intern umat beragama di
Indonesia mengalami pasang surut. Mulai dari berdirinya Muhammadiyah pada tahun
1912 dan NU pada tahun 1926, walaupun tidak terasa aksi-aksi yang dilakukan dua
golongan ini.
Aksi yang paling aktual misalnya pembakaran
pemukiman kelompok sesat Ahmadiyah di Parung, Bogor dan NTB. Kasus yang serupa
yaitu penyerangan ustadz oleh LDII di Karanganyar, Solo. LDII menganggap para
ustadz telah mendiskreditkan golongan ini. Selain itu, perang padri antara
golongan putih dan adat.
·
Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Sejarah kerukunan antar umat beragama di
Indonesia yang paling sering konflik adalah antara pemeluk agama Islam dengan
Kristen. Contoh yang paling obyektif adalah kasus Ambon, Poso, dan pembakaran
beberapa gereja di beberapa daerah di Indonesia, serta Maluku Tenggara dengan
jumlah korban jiwa 59.888.
·
Kerukunan Antar Umat Beragama dengan
Pemerintah
Asal mula kerukunan umat beragama dengan
pemerintah di Indonesia juga mengalami pasang surut.
1)
Era Orde Lama
Pada era ini agama dijadikan paham ideologi
oleh Soekarno yaitu NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis).
2)
Era Orde Baru
Pada era ini kerukunan antar umat beragama
dengan pemerintah dirasakan masih kurang mantap, sebagai akibat semakin
memanasnya suhu politik, terutama menjelang Pemilu tahun 1977. Umat beragama
khususnya umat Islam merasakan kebebasannya untuk berdakwah sangat dibatasi,
harus meminta ijin dahulu kepada aparat keamanan. Di pihak lain pemerintah
memandang pembatasan kebebasan dakwah perlu dilakukan, demi terciptanya
ketertiban dan keamanan yang mantap. Mengingat kenyataan masih banyak para juru
dakwah yang menyalahgunakan dakwah untuk kepentingan politik praktis yang
mendiskreditkan pemerintah dan pihak lain (Departemen Agama, Pedoman Dasar
Kerukuna Hidup Beragama). Pada era ini juga sering terjadi peristiwa yang
paling membuat umat Islam berduka, seperti kasus Tanjung Priok, dan Lampung
(Talang Sari).
3)
Era Reformasi
Tuduhan-tuduhan dan penangkapan para kelompok
ekstrim seperti FPI (Front Pembela Islam) dan JI (Jaringan Islamiah) oleh para
aparat hukum karena kelompok itu dianggap teroris, itu sangat melukai umat
Islam.
Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara di
dunia yang memiliki penduduk dengan jumlah yang sangat besar. Di tengah-tengah
besarnya jumlah penduduk tersebut, tumbuh dan berkembang keragaman budaya,
sosial, dan agama. Dari sisi agama, Indonesia mengakui hidup dan berkembangnya
lima agama resmi negara, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Hindhu, dan Buddha.
Di samping lima agama tersebut, di
Indonesia juga telah berkembang agama-agama yang tidak resmi yang dipeluk oleh
sebagian kecil bangsa Indonesia, terutama di daerah-daerah pedalaman.
Agama-agama yang tidak resmi ini biasanya dikenal dengan sebutan aliran
kepercayaan yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi bersumber pada keyakinan
yang tumbuh di kalangan masyarakat sendiri. Keragaman seperti ini menimbulkan
permasalahan
di tengah masyarakat yang terkadang memicu konflik antar agama.
Kemajemukan masyarakat dalam hal agama
dapat merupakan sumber kerawanan sosial apabila pembinaan kehidupan beragama
tidak tertata dengan baik. Masalah agama merupakan masalah yang bersifat
sensitif yang sering memunculkan konflik dan permusuhan antar golongan pemeluk
agama. Negara Indonesia menjamin kehidupan agama bagi seluruh rakyatnya. Dasar
negara Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama dengan sila yang
pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” UU D 1945 juga menjamin kebebasan
menjalankan agama dengan satu pasal khusus, yaitu pasal 29. Di samping itu,
semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” memberikan peluang leluasa bagi beragam agama
yang ada untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran agama di bawah satu kesatuan
dasar Pancasila dan UUD 1945. Menteri Agama RI tahun 1978-1984 (H. Alamsjah
Ratu Perwiranegara) menetapkan Tri Kerukunan Beragama, yaitu tiga prinsip dasar
aturan yang bisa dijadikan sebagai landasan toleransi antarumat beragama di
Indonesia. Tiga prinsip dasar yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Kerukunan intern umat beragama.
2)
Kerukunan antar umat beragama.
3)
Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah
Untuk melaksanakan Tri Kerukunan
Beragama ini, dikeluarkan juga keputusan Menteri Agama yang menjabarkan aturan
itu dengan lebih rinci, yaitu Keputusan Menteri Agama no. 70 tahun 1978 tentang
Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama no. 77 tahun 1978 tentang Bantuan
Luar Negeri kepada Lembaga-lembaga Keagamaan di Indonesia. Tiap golongan
beragama dapat mencurahkan perhatiannya terhadap
pembinaan
dan peningkatan kualitas warga golongannya masing-masing sekaligus kerukunan
antar umat beragama akan terjaga jika aturan-aturan tersebut di atas dipatuhi.
Dalam kenyataannya, aturan-aturan ini sering tidak dipatuhi, terutama oleh
golongan minoritas.
Meskipun demikian, pelanggaran terhadap
aturan tersebut tidak sampai
menimbulkan
konflik yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Kalaupun akhir-akhir
ini konflik antar pemeluk agama terjadi, seperti di Ambon, Poso, dan
tempat-tempat lain, hal ini sebenarnya bukan disebabkan oleh masalah agama
semata, tetapi sudah banyak ditopangi oleh berbagai kepentingan, terutama
kepentingan politik. Hal inilah yang menyulitkan pemerintah untuk segera meredakan
konflik tersebut.
Selain itu pemerintah juga membentuk
sebuah forum konsultasi dan komunikasi antara pemimpin atau pemuka agama dengan
pemerintah untuk memelihara kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini
melengkapi upaya yang sebelumnya telah dilakukan, yaitu pemantaban organisasi
masing-masing agama. Forum yang dimaksud diberi nama Wadah Musyawarah Antar umat
Beragama yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama no. 35 tahun 1980.
Organisasi umat beragama tingkat pusat
adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk umat Islam, Majelis Agung Wali
Gereja Indonesia (MAWI) untuk umat Kristen Katolik, Dewan Gereja-gereja
Indonesia (DGI) untuk umat Kristen Protestan, Parisada Hindhu Dharma Pusat
(PHDP) untuk umat Hindhu, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) untuk
umat Buddha (Depag, 1982/1983, h. 46). Wadah-wadah ini diharapkan dapat menjadi
pelindung sekaligus tempat mengadu tentang berbagai permasalahan yang terkait
dengan agama.
Aturan-aturan tentang
kerukunan antarumat beragama di Indonesia pada prinsipnya tidak berbeda dengan
aturan aturan dalam Piagam Madinah. Tidak ada perbedaan
yang mendasar dari kedua sumber aturan tersebut tentang kerukunan antarumat
beragama. Keduanya sama-sama memberikan keleluasaan kepada masing-masing penganut
agama untuk melaksanakan agamanya masing-masing. Perbedaan terlihat dalam hal
penanganan terhadap permasalahan yang muncul. Jika Nabi dengan cepat
menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul, maka tidak demikian halnya
pemerintah Indonesia. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terlihat
kurang cepat dan kurang tegas sehingga konflik yang terjadi meluas dan
berkepanjangan serta semakin sulit menyelesaikannya dengan tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar