Kondisi
Geografis dan Sejarah berdirinya Brunei Darussalam
Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang terletak di Asia Tenggara.
Letaknya di bagian utara Pulau Borneo/Kalimantan dan berbatasan dengan
Malaysia. Brunei terdiri dari dua bagian yang dipisahkan di daratan oleh
Malaysia. Negara ini terkenal dengan kemakmurannya dan ketegasan dalam
melaksanakan syariat Islam, baik dalam bidang pemerintahan maupun kehidupan
bermasyarakat. Menurut Tim Redaksi (2004) Brunei Darussalam merupakan salah
satu dari enam anggota ASEAN, adalah negara kecil di pantai utara Pulau Kalimantan.
Ibu Kotanya adalah Bandar Sri Begawan. Negara kesultanan ini dikenal sebagai
negara kaya karena hasil buminya. Pendapatan per kapita Brunei pada tahun 1986
adalah 14.200 dollar Amerika Serikat setahun.
Menurut
Ghee & Gomes (1993:2) Salah satu ciri wilayah Asia Tenggara yang paling
mencolok ialah keanekaragaman budayanya. Kekayaan budaya ini sebagian berasal
dari beberapa ratus suku minoritas yang menghuni pedalaman pegunungan dan di
kawasan ini. Namun Brunei merupakan negara yang tidak begitu mencolok karena
penduduk dan luas wilayahnya kecil. Brunei
terdiri dari dua bagian yang tidak berkaitan; 97% dari jumlah penduduknya
tinggal di bagian barat yang lebih besar, dengan hanya kira-kira 10.000 orang
tinggal di daerah Temburong, yaitu
bagian timur yang bergunung-gunung. Jumlah penduduk Brunei 383.000 orang. Dari
bilangan ini, lebih kurang 46.000 orang tinggal di ibukota Bandar Seri Begawan.
Agama Islam masuk ke Brunei pada abad ke-15. Sejak
itu, Kerajaan Brunei berubah menjadi Kesultanan Islam. Pada abad ke-16,
Kesultanan Brunei tergolong kuat wilayahnya, dan daerah kekuasaannya meliputi
pula beberapa pulau di Filipina Selatan. Sejarah yang ditulis bangsa Barat
mengatakan pula bahwa pada masa jayanya Brunei dinilai menjadi pelindung
kawanan bajak laut yang beroperasi di Laut Cina Selatan.
Menurut Musa (1998:84) Luas seluruh
daerah kesultanan ini adalah 5.765 Km2. Daerahnya terbagi menjadi 4
distrik, masing-masing Brunei/Muara, Tutong, Belait, dan Temburong. Sejumlah kota utama termasuk kota pelabuhan Muara, serta kota Seria yang menghasilkan minyak, dan Kuala Belait, kota
tetangganya. Di daerah Belait, kawasan Panaga ialah kampung halaman sejumlah besar ekspatriat,
disebabkan oleh fasilitas perumahan dan rekreasi Royal
Dutch Shell dan British Army. Klub Panaga
yang terkenal terletak di sini. Iklim Brunei ialah tropis khatulistiwa, dengan
suhu serta kelembapan yang tinggi, dan sinar matahari serta hujan lebat
sepanjang tahun.
Kira-kira
dua pertiga jumlah penduduk Brunei adalah orang Melayu. Kelompok etnik minoritas
yang paling penting dan yang menguasai ekonomi negara ialah orang Tionghoa (Han)
yang menyusun lebih kurang 15% jumlah penduduknya. Etnis-etnis ini juga
menggambarkan bahasa-bahasa yang paling penting: bahasa Melayu yang
merupakan bahasa resmi, serta bahasa Tionghoa. Bahasa Inggris juga
dituturkan secara meluas, dan terdapat sebuah komunitas ekspatriat yang agak
besar dengan sejumlah besar warganegara Britania dan Australia.
Populasi penduduk negara ini mencapai ratusan ribu penduduk. Menurut
Kemenlu (2012) Populasi: 411,000 (data dari Jabatan Perancangan
dan Kemajuan Ekonomi/JPKE pada Kantor Perdana Menteri, berdasarkan hasil Sensus
Penduduk bulan Juni 2011). Agama Islam ialah agama resmi Brunei, dan Sultan Brunei merupakan kepala agama
negara itu. Agama-agama lain yang dianut termasuk agama Buddha
(terutamanya oleh orang Tiong Hoa), agama Kristen, serta
agama-agama orang
asli (dalam komunitas-komunitas yang amat
kecil).
Budaya
Brunei seakan sama dengan budaya Melayu, dengan pengaruh kuat dari Hindu dan Islam, tetapi kelihatan lebih
konservatif dibandingkan Malaysia. Penjualan dan penggunaan
alkohol diharamkan, dengan orang luar dan non-Muslim dibenarkan membawa dalam
12 bir dan dua botol miras setiap kali mereka masuk negara ini. Setelah
pemberlakuan larangan pada awal 1990-an, semua klub dan kelab malam dipaksa
tutup.
Para
peneliti sejarah telah mempercayai terdapat sebuah kerajaan lain sebelum
berdirinya Kesultanan Brunei kini, yang disebut orang Tiongkok sebagai Po-ni.
Catatan orang Tiongkok dan orang Arab menunjukkan bahwa kerajaan perdagangan
kuno ini ada di muara Sungai Brunei awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu
memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat
di Brunei. Kesultanan Brunei juga merupakan pusat perdagangan dengan China.
Kerajaan awal ini pernah ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang
berpusat di Sumatra pada awal abad ke-9 Masehi dan seterusnya menguasai Borneo utara dan gugusan kepulauan Filipina. Kerajaan ini
juga pernah menjadi taklukan (vazal) Kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa. Nama Brunei tercantum dalam Negarakertagama
sebagai daerah bawahan Majapahit. Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena
setelah Hayam Wuruk wafat Brunei dapat membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri yang
merdeka dan pusat perdagangan penting.
Pada awal abad ke-15,
Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Parameswara telah
menyebarkan pengaruhnya dan kemudian mengambil alih perdagangan Brunei.
Perubahan ini menyebabkan agama Islam tersebar di wilayah Brunei oleh
pedagangnya pada akhir abad ke-15. Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun
1511, telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih kepimpinan Islam dari Malaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman
kegemilangannya dari abad ke-15 hingga abad ke-17 sewaktu memperluas kekuasaannya ke seluruh
pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah utaranya. Semasa pemerintahan Sultan Bolkiah (1473-1521) yang terkenal disebabkan pengembaraan baginda di laut,
malah pernah seketika menaklukkan Manila. kesultanan Brunei
memperluas pengaruhnya ke utara hingga ke Luzon dan Sulu
serta di sebelah selatan dan barat Kalimantan; dan pada
zaman pemerintahan sultan yang kesembilan, Hassan (1605-1619), yang membangun susunan aturan adat istiadat kerajaan dan
istana yang masih kekal hingga hari ini.
Pada tahun 1658 Sultan Brunei
menghadiahkan kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di Filipina Selatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam
menyelesaikan perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran
Mohidin. Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang
menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan dalam
disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga disebabkan timbulnya
pengaruh kuasa penjajah Eropa di rantau sebelah sini, yang menggugat corak
perdagangan tradisi, serta memusnahkan asas ekonomi Brunei dan kesultanan Asia
Tenggara yang lain.
Pada Tahun 1839, James Brooke dari
Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja di sana serta menyerang Brunei,
sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia
dilantik menjadi gubernur dan kemudian "Rajah" Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah
pemerintahannya. Pada tanggal 19 Desember 1846, pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit
wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan dagang dan
pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah protektorat
Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada masa yang sama,
Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut
Borneo. Pada tahun 1888, Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan
kerajaan Britania dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan
urusan luar negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906, Brunei menerima suatu lagi langkah perluasan kekuasaan
Britania saat kekuasaan eksekutif dipindahkan kepada seorang residen Britania,
yang menasihati baginda Sultan dalam semua perkara, kecuali yang
bersangkut-paut dengan adat istiadat setempat dan agama.
Pada tahun 1959, Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa
memerintah kecuali dalam isu hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan di
mana isu-isu ini menjadi tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk
sebuah badan perundangan pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh
partai oposisi yaitu Partai
Rakyat Brunei dan dengan bantuan Britania,
pemberontakan ini berhasil diberantas. Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan
Brunei ketika itu menolak rencana (walaupun pada awalnya menunjukkan minat)
untuk bergabung dengan Singapura, Sabah,
Sarawak, dan Tanah
Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya
Sultan Brunei ketika itu berkehendak untuk membentuk sebuah negara yang
merdeka.
Sementara itu pada tahun
1962, terjadi pemberontakan di Brunei dan Kalimantan Utara lainnya.
Pemberontakan itu dipimpin oleh Azhari. Ia memperjuangkan kemerdekaan bagi
seluruh Kalimantan Utara, yang meliputi Sabah, Serawak dan Brunei. Perjuangan
Azhari ini didukung oleh Indonesia, pada zaman pemerintahan Soekarno.
Pemberontakan yang berlangsung selama lebih
dua tahun itu hampir berhasil, lapangan terbang sudah dikuasai. Hampir seluruh
daerah Brunei dikuasai pemberontak, kecuali daerah sekitar istana sultan dan
daerah minyak yang dijaga ketat oleh pasukan Inggris. Azhari melarikan diri ke
Indonesia, sedang ribuan pengikutnya ditawan. Ratusan di antara mereka mendapat
hukuman lebih dari 15 tahun penjara.
Pada 1967, Omar Ali Saifuddin III telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah,
menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri Pertahanan
setelah Brunei mencapai kemerdekaan penuh dan disandangkan gelar Paduka Seri Begawan Sultan. Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah
namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.
Pada tanggal 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan
sepenuhnya. Saat ini Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil daripada masa
lalu, dengan berbatasan dengan Serawak dari sebelah barat sampai timur wilayah
itu, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Brunei merdeka dari Inggris tahun 1984
BalasHapus